Monday, March 14, 2011

Penulis itu Pantang Menyerah


Seorang penulis tentu haruslah berjiwa besar, tidak boleh pantang menyerah lantaran tulisannya di reject (ditolak) oleh sebuah penerbitan. Betapa tidak, bagi yang menjadikan kegiatan tulis- menulis tersebut sebagai sumber penghasilan, tentu dia harus terus berkarya demi lubung kelurga. Sedangkan bagi yang menulis lantaran hobby, dia kan terasa mati kala harus berhenti. Karena menulis sudah menjadi suatu kesenangan jiwa, kepuasan batin baginya.

Banyak faktor yang membuat suatu tulisan (baca: karya), ditolak oleh suatu penerbit. Faktor- faktor tersebut juga saling bertautan, tidak berdiri sendiri. Bisa jadi tulisanmu ditolak karena memang kontennya yang kurang digarap serius, terlalu monoton, kurang inspiratif, atau justru tidak sesuai dengan genre dari penerbitan tersebut lho. Lalu, bagaimana caranya kita tahu sejauh mana atau se-qualified apa tulisan kita? Kita tidak pernah tahu hal tersebut, jika tulisan kita hanya kita konsumsi sendiri. Jadi, buruan kirim naskahmu ke penerbit maupun media cetak manapun! Bagus lagi jika kamu mengirimkannya ke sebuah penerbitan atau media cetak yang juga mau memberikan sekelumit masukan sebagai bahan revisi naskahmu.

Beberapa bulan yang lalu, ada sebuah penerbitan indie yang mengadakan lomba menulis kisah berdasarkan kisah nyata tentang pengalaman dengan dunia ghoib. Seruuu baget kan?! Tanpa berpikir panjang, segera aku tuangkan pengalamanku dalam sebuah naskah cerita dan ku kirimkan segera. Apalah daya, ternyata naskahku belum nyangkut sebagai juara. Aku penasaran, bagian manakah yang kurang...rasanya sudah perfect. Aku langsung browsing ke web publishing tersebut untuk mencari tahu. Akhirnya, aku menemukan artikel tentang komentar panitia pada lomba kepenulisan yang lalu. Beberapa naskah yang tidak lolos dalam sesi lomba sebelumnya dikarenakan gaya cerita yang terkesan seperti cerpen (cerita pendek) atau bahkan cerbung (cerita bersambung). Aku pun langung paham, kenapa naskahku belum lolos. Naskah yang aku kirimkan memang bercerita bergaya cerita pendek. Tentu saja tidak masuk kriteria panitia. Apakah setelah itu aku menyerah dan melempar naskahku ke recycle bin? No way! Penulis itu pantang menyerah.

Naskah true story yang lebih cocok dikategorikan cerpen tersebut, akhirnya benar- benar total aku ubah menjadi cerpen (tentu tetap menjaga orisinilitas cerita nyata tersebut) dan aku kirimkan ke sebuah situs remaja. Tahukah kalian apa hasilnya? Yep! Si naskah di reject alias ditolak pula...Hehehe. Kasihan banget yak! Sekali lagi, penulis itu pantang menyerah. Aku pun berusaha untuk merevisi naskah tersebut. Tapi bagian mana ya yang harus direvisi? Alhamdulillah, situs itu memberikan koreksi untuk naskah reject tersebut. Bagaimana komentar mereka terhadap naskahku tersebut, silahkan baca disini!

Setelah mencermati dan membacanya...aku mulai mengendapkan tiap masukan ke dalam hati. Saatnya menguras otak kembali, membenahi pernak- pernik naskah yang harus direvisi hingga siap dikirim lagi. Karena menulis adalah proses pembelajaran. Tiap hari kita belajar dari tulisan kita sendiri serta tulisan orang lain. Tidak percaya? Coba saja kamu tulis perasaanmu saat marah dalam buku harian, lalu baca kembali tulisan- tulisan tersebut ketika amarahmu telah mereda dan masalah telah selesai. Kamu akan tahu bagaimana kharaktermu lewat tulisanmu! Kamu juga belajar memetik hikmah dari tiap peristiwa yang kau tulis.

Tiap hari belajar menulis...tiap hari belajar dari tulisan

-Ian Puspita-


Diperbolehkan menyebarkan catatan ini kepada rekan- rekan yang lain dengan tetap mencantumkan nama penulis asli, Ian Puspita dan blog sumber http://ianpuspita.blogspot.com



0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More