This is default featured post 1 title

Aku disini...

This is default featured post 2 title

adalah blog probadi tempat belajar dan berbagi...

This is default featured post 3 title

Belajar tentang kehidupan untuk menghidupkan hidup

This is default featured post 4 title

Berbagi pengetahuan dan pengalaman supaya lebih mengenal alam kehidupan

This is default featured post 5 title

Melalui goresan sketsa hati dan elegi diri terhadap stagnansi bahkan reformasi diri dan pemikiran

Monday, March 14, 2011

Berkarya lewat Tulisan!


Setiap kali kita bicara masalah tulis- menulis, sebagian besar orang beranggapan bahwa kegiatan menulis dan menghasilkan karya lebih cenderung ke hal- hal yang berbau karya sastra saja, sebagai contoh puisi, cerita pendek, maupun novel. Memang benar, 3 karya tersebut yang sering diminati dan dikuasai oleh para penulis tetapi bukan berarti kegiatan menulis (baca: berkarya lewat tulisan) hanya dalam batas koridor itu saja. Cakupan berkarya lewat tulisan sangatlah luas. Seorang cerpenis akan berkarya dengan cerpen- cerpen buah karyanya, seorang pujangga akan menelurkan puisi- puisi dalam antologi puisinya, begitu pula dengan seorang novelis. Apakah hanya mereka yang bisa berkarya lewat tulisan? Apakah hanya para cerpenis, novelis, pujangga yang bisa membuat buku?

Tentu saja tidak! Siapa pun orangnya, dengan latar belakang pendidikan dan pengetahuan apapun bisa menjadi seorang penulis. Tak peduli setinggi apa jabatannya, serendah apa jenjang pendidikannya. Seorang guru Biologi, dia bisa menulis tentang hal- hal sesuai keahliannya dalam botani dalam sebuah Buku Pintar Botanical misalnya. Seorang ahli komputer bisa menulis tentang handbook Operasional Linux misalnya. Bahkan seorang blogger sejati sepertimu pun bisa menulis buku tentang blogging (dunia blog). Sekali lagi, siapa pun bisa menjadi penulis. Yang diperlukan hanyalah kemauan untuk mulai menuliskan apa saja yang ingin dia tulis, dia bagi kepada yang lain tentang hal yang bermanfaat. Jadi, mulailah menulis dari sekarang!

Tulislah semua hal yang engkau rasa dan engkau ingin ceritakan kepada yang lain, hingga pemikiran kritismu akan hal- hal disekitarmu. Tulis dan publikasikanlah! Siapa yang tahu jika hal itu sangat bermanfaat bagi yang lain? jika engkau hanya menyimpannya sendiri sebagai catatan pribadimu. Kemana aku kirimkan tulisanku (baca: karyaku) ? Tentu hal ini tergantung jenis tulisanmu, dan genre yang cocok dengan media yang kamu tuju. Jika tulisanmu berupa opini yang relevan dengan keadaan terkini, kamu bisa bisa mengirimkan artikel tulisanmu ke media cetak dibawah ni:

Kompas
: opini@kompas.co.id

Kompas termasuk media yang memiliki begitu banyak rubric untuk masyarakat. Selain opini, ada rubric lain yang bisa dicoba seperti Teroka dan Teropong. Bedanya, jika rubric opini muncul setiap hari, rubric-rubrik lain ada yang tiap satu atau dua minggu. Honor di Kompas konon rata-rata di atas satu juta.

Jawa Pos (www.jawapos.com)

Ada beberapa rubric yang bisa dicoba: “opini”, “ruang putih”, “di balik buku”, “cerpen”, “puisi” dsb..

Alamat email : opini@jawapos.co.id, sebutkan rubric yang dituju pada subyek email.

Untuk Kolom Esai Budaya, Cerpen, Resensi Buku dan Dibalik Buku: ariemetro@yahoo.com. (Untuk resensi buku, bisa dikirim yang panjang tulisannya sampai 800 kata)

Seputar Indonesia (www.seputar-indonesia.com)

Alamat : redaksi@seputar-indonesia.com. Ada Opini (muncul setiap hari), Kolom Budaya, Resensi, Puisi, Cerpen (ada di hari Minggu saja). Kita tinggal menulis saja mau dimuat di kolom apa pada subject email pas kirim tulisan.

Lampung Post (www.lampungpost.com):

Untuk Kolom Opini: redaksi@lampungpost.co.idà ini imel utama

opinilampost@yahoo.co.id

redaksilampost@yahoo.com

Untuk Esai Budaya/Sastra dan Puisi: lampostminggu@yahoo.com, halaman opini@yahoo.com


Media Indonesia (www.media-indonesia.com):

Untuk Kolom Opini dan Resensi Buku : redaksi@mediaindonesia.co.id

opinimi@yahoo.com

(Panjang resensi buku maximal 800 kata. Begitu juga dengan Opini. Saat kirim lebih baik semua imel dikirimi. Nama Kolom Resensi Buku-nya: Bedah Pustaka)

Bisnis Indonesia: redaksi@bisnis.co.id

(Biasanya tulisan yang nyerempet soal bisnis dan ekonomi)

Pikiran Rakyat (www.pikiran-rakyat.com) (Jawa Barat):

Untuk Kolom Opini: opini@pikiran-rakyat.com à panjang tulisan maximal 6000 karakter dengan spasi. Untuk Esai Sastra, Cerpen dan Puisi: khazanah@pikiran-rakyat.com à ada di hari Sabtu

Untuk Resensi Buku: kampus_pr@yahoo.com ada cuma hari kamis (panjang tulisan 4000 karakter dengan spasi)

Koran Tempo (www.korantempo.com):

Untuk Kolom Opini: koran@tempo.co.id

Untuk Resensi Buku, Esai Sastra dan Puisi: ktminggu@tempo.co.id

Satu bulan sekali ada Suplemen Ruang Baca.

Republika (www.republika.co.id): sekretariat@republika.co.id à ini buat Kolom Opini.

Kalo kirim cerpen dan puisi, selain kirim ke imel itu, kirim juga ke: ahmadun21@yahoo.com

Suara Karya (www.suarakarya-online.com):

redaksisk@yahoo.com

Ada Kolom Opini. Cerpen dan Puisi hari Sabtu.

Suara Pembaruan (www.suarapembaruan.com):

koransp@suarapembaruan.com

semua jenis tulisan dikirim ke imel itu. Ada Kolom Opini, Resensi Buku, Puisi dan Cerpen

Koran Jakarta (www.koran-jakarta.com) :

redaksi@koran-jakarta.com

(Setiap hari ada Kolom Opini (namanya Gagasan) dan resensi buku (Perada). Kalau mau dimuat, biasanya ditelfon terlebih dahulu.

Suara Merdeka (www.suaramerdeka.com): naskah@suaramerdeka.info dan wacana@gmail.com.

Ini koran Jawa Tengah, InsyaAllah bisa dicoba oleh penulis lain dari luar daerah.

Catatan Tambahan :

1. Untuk Rubrik Opini, secara umum tulisan berkisar 700-850 kata.

2. Tulisan bisa dimuat satu hari setelah kirim, satu minggu, dua minggu atau bahkan dua bulan setelah kirim, umumnya juga tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

3. Selain actual, kenali karakter media dengan sering mengunjungi webnya masing-masing.


Lalu bagaimana jika tulisanku ditolak media? Aku tidak tahu- menahu tentang tata bahasa Indonesia yang benar!
Buang jauh- jauh segala ragu yang mencekal kakimu untuk melangkah. Penulis itu pantang menyerah! Coba kalian baca tulisanku di artikel sebelumnya disini. Bukankah kita tidak pernah dirugikan ketika tulisan kita ditolak atau tidak dimuat. Toh, masih banyak media yang bisa kita gunakan untuk mempublikasikan tulisan kita, sebagai contoh blog pribadi, milis, forum, majalah dinding sekolah dan lain sebagainya. Niat pertama yang harus ditanamkan saat kita hendak menulis adalah membagi hal yang bermanfaat kepada yang lain. Sehingga, tatkala tulisan kita ditolak, rasa kecewa kita segera terobati. Bukankah karya tersebut masih bisa kita publish di blog, milis, majalah dinding kelas/sekolah yang tidak begitu menggubris masalah tata bahasa Indonesia...pesan dibalik tulisan kita pun tetap tersampaikan pada orang lain. Mempublikasikan tulisan kita-bahkan tiap tulisan kita yang telah ditolak penerbit sekalipun- dalam blog, milis, dan forum sangat bermanfaat bagi kita mapun orang lain lho.

Bagi penulis, ketika tulisannya bisa dibaca oleh netter (pengguna internet) yang lain, bukan tidak mungkin akan menuai kritik dan masukan yang bisa digunakan sebagai bahan revisi karyanya berikutnya. Penulis juga bisa tahu nilai jual tulisannya (dilihat dari respon positif pembaca) ,sejauh mana relevansi pemikirannya dengan keadaan sekitarnya dan lain sebagainya.

Bagi orang lain (baca:pembaca), tulisan tersebut akan memberi manfaat atau faedah baginya. Apabila tulisan tersebut berupa ilmu praktis, tentu dapat segera dipraktekan oleh pembaca. Apabila berupa karya sastra yang mengandung pesan moriil, maka pembaca bisa mendulang hikmah dari tulisan tersebut. Dari sinilah tujuan utama berkarya lewat tulisan tercapai. Faedah dan manfaat tulisan kita bisa tersampaikan pada khalayak ramai. Bahkan dakwah Islam pun bisa pula terjembatani lewat tulisan ilmiah.

Ayo berkarya lewat tulisan...^^


- Ian Puspita -

Diperbolehkan menyebarkan catatan ini kepada rekan- rekan yang lain dengan tetap mencantumkan nama penulis asli, Ian Puspita dan blog sumber http://ianpuspita.blogspot.com

Penulis itu Pantang Menyerah


Seorang penulis tentu haruslah berjiwa besar, tidak boleh pantang menyerah lantaran tulisannya di reject (ditolak) oleh sebuah penerbitan. Betapa tidak, bagi yang menjadikan kegiatan tulis- menulis tersebut sebagai sumber penghasilan, tentu dia harus terus berkarya demi lubung kelurga. Sedangkan bagi yang menulis lantaran hobby, dia kan terasa mati kala harus berhenti. Karena menulis sudah menjadi suatu kesenangan jiwa, kepuasan batin baginya.

Banyak faktor yang membuat suatu tulisan (baca: karya), ditolak oleh suatu penerbit. Faktor- faktor tersebut juga saling bertautan, tidak berdiri sendiri. Bisa jadi tulisanmu ditolak karena memang kontennya yang kurang digarap serius, terlalu monoton, kurang inspiratif, atau justru tidak sesuai dengan genre dari penerbitan tersebut lho. Lalu, bagaimana caranya kita tahu sejauh mana atau se-qualified apa tulisan kita? Kita tidak pernah tahu hal tersebut, jika tulisan kita hanya kita konsumsi sendiri. Jadi, buruan kirim naskahmu ke penerbit maupun media cetak manapun! Bagus lagi jika kamu mengirimkannya ke sebuah penerbitan atau media cetak yang juga mau memberikan sekelumit masukan sebagai bahan revisi naskahmu.

Beberapa bulan yang lalu, ada sebuah penerbitan indie yang mengadakan lomba menulis kisah berdasarkan kisah nyata tentang pengalaman dengan dunia ghoib. Seruuu baget kan?! Tanpa berpikir panjang, segera aku tuangkan pengalamanku dalam sebuah naskah cerita dan ku kirimkan segera. Apalah daya, ternyata naskahku belum nyangkut sebagai juara. Aku penasaran, bagian manakah yang kurang...rasanya sudah perfect. Aku langsung browsing ke web publishing tersebut untuk mencari tahu. Akhirnya, aku menemukan artikel tentang komentar panitia pada lomba kepenulisan yang lalu. Beberapa naskah yang tidak lolos dalam sesi lomba sebelumnya dikarenakan gaya cerita yang terkesan seperti cerpen (cerita pendek) atau bahkan cerbung (cerita bersambung). Aku pun langung paham, kenapa naskahku belum lolos. Naskah yang aku kirimkan memang bercerita bergaya cerita pendek. Tentu saja tidak masuk kriteria panitia. Apakah setelah itu aku menyerah dan melempar naskahku ke recycle bin? No way! Penulis itu pantang menyerah.

Naskah true story yang lebih cocok dikategorikan cerpen tersebut, akhirnya benar- benar total aku ubah menjadi cerpen (tentu tetap menjaga orisinilitas cerita nyata tersebut) dan aku kirimkan ke sebuah situs remaja. Tahukah kalian apa hasilnya? Yep! Si naskah di reject alias ditolak pula...Hehehe. Kasihan banget yak! Sekali lagi, penulis itu pantang menyerah. Aku pun berusaha untuk merevisi naskah tersebut. Tapi bagian mana ya yang harus direvisi? Alhamdulillah, situs itu memberikan koreksi untuk naskah reject tersebut. Bagaimana komentar mereka terhadap naskahku tersebut, silahkan baca disini!

Setelah mencermati dan membacanya...aku mulai mengendapkan tiap masukan ke dalam hati. Saatnya menguras otak kembali, membenahi pernak- pernik naskah yang harus direvisi hingga siap dikirim lagi. Karena menulis adalah proses pembelajaran. Tiap hari kita belajar dari tulisan kita sendiri serta tulisan orang lain. Tidak percaya? Coba saja kamu tulis perasaanmu saat marah dalam buku harian, lalu baca kembali tulisan- tulisan tersebut ketika amarahmu telah mereda dan masalah telah selesai. Kamu akan tahu bagaimana kharaktermu lewat tulisanmu! Kamu juga belajar memetik hikmah dari tiap peristiwa yang kau tulis.

Tiap hari belajar menulis...tiap hari belajar dari tulisan

-Ian Puspita-


Diperbolehkan menyebarkan catatan ini kepada rekan- rekan yang lain dengan tetap mencantumkan nama penulis asli, Ian Puspita dan blog sumber http://ianpuspita.blogspot.com



Sunday, March 13, 2011

My Only Hope

Setiap orang tentu mempunya cita-cita atau harapan yang membuat mereka bersemangat dalam menjalani aktivitasnya. Cita- cita atau harapan tersebut menjadikan seseorang rela melakukan hal yang sama bersifat rutinitas tiap harinya tanpa jeda berarti. Penat yang kerap menghinggap pun ditepis segera, sirna kala mengingat capaian yang ingin mereka raih. Tidak dapat dipungkiri bahwasanya tidak sedikit orang yang sebenarnya enggan dalam menjalani rutinitas tersebut. Namun, cita- cita maupun harapan dibalik itu telah menjadi dopping terbaik bagi tiap individu tersebut.

Cita- cita atau harapan ini bersifat multiple hope, artinya tiap orang dapat memiliki lebih dari satu cita- cita atau harapan.Dalam hal karir, dia bisa mempunyai cita- cita mempunyai karir cemerlang dengan gaji yang tinggi. Dalam kehidupan rumah tangga seseorang bisa mempunyai harapan mempunyai anak- anak yang pintar, berbakti, dan karir cemerlang. Dalam hal beragama, seseorang mempunyai harapan bisa naik haji dan sebagainya. Cita- cita ini sangat kompleks bukan, beranak pinak dalam sisi yang berbeda- beda.

Tidak jauh beda dengan manusia yang lainnya, aku sendiri mempunyai sederet cita- cita dan harapan. Deretan tersebut telah berganti berulang kali dalam kurun waktu 26 tahun terakhir ini. Skala prioritas menjadi barometer legalitas bertenggernya harapan baru tersebut. Segala prefeksionitas diri sudah tidak berlaku, apalagi ketika memasuki gerbang pernikahan ini….masa reses berkepanjangan yang akan jadi endingnya bila memaksakan prefeksionitas diri itu.

Ketika diri ini telah meleburkan ego, mencairkan prestise, memadatkan ambisi, membekukan emosi…toh masih ada juga pihak- pihak yang merasa tersakiti atau dirugikan kala “my hope” yang sejatinya “my only hope” karena satu hal tersebut yang perlu realisasi nyata dalam waktu dekat ini sedang diupayakan untuk diwujudkan. Jawabannya adalah karena tiap orang mempunyai cita- cita yang berbeda sesuai dengan kepentingannya masing- masing. Ketika tiap kepentingan tersebut tidak sama bahkan bertabrakan satu sama lain, tentu akan ada pihak- pihak yang merasa dirugikan, tersakiti, dan lain sebagainya mana kala kepentingan mereka tidak terwujud.

(to be continoed)

-Ian Puspita-

Diperbolehkan menyebarkan catatan ini kepada rekan- rekan yang lain dengan tetap mencantumkan nama penulis asli, Ian Puspita dan blog sumber http://dianpuspita.dagdigdug.com atau http://ianpuspita.blogspot.com

Titik Nol

Titik nol—> and started it later…

Titik ini bermakna ambiguis, it can be so complicated for certain person or…it’s nothing one for others. How about u? According to me, it is space before starting to do. Life goes on….we never cannot stop it. Time cannot wait us for while.So, let it flow…nothing to do for a while and started it later!

The question is when the zero point happen!

Titk nol itu bisa jadi terjadi dalam berbeda keadaan antara satu orang dan lainnya. Masing- masing pribadi bisa jadi mengalami masa dimana stagnasi bekerja, masa reses mulai terasa. Keadaaan dimana kita dipaksa berhenti, saat seharusnya kita melaju. Lalu, haruskah kita berhenti atau kita tetap melaju?

Kapan kita harus berhenti atau tetap melaju tentu hal ini menjadi otoritas kita, untuk menentukan. Namun, keadaan tidak selamanya seperti apa yang kita prediksikan dan harapkan. Kondisi buruk atau kenyataan pahit sering memaksa seseorang untuk mengambil keputusan untuk berhenti, bahkan juga memaksa kita untuk benar- benar berhenti…mau atau pun tidak mau, suka atu pun tidak suka. Hingga kita berhenti, nothing to do, dan not know what must to do! Tanpa ada pilihan lain…

Aku lebih memilih untuk berhenti, menikmati titik nol ku itu sepenuh hati…

Rehat dari penat yang menghimpit, rehat dari masa yang sulit, rehat dari ambisi yang melangit….Dari titik nol inilah, aku belajar bersabar, berjalan pelan, dan lebih berhati- hati dalam bertindak. Masih tajam dalam memory otakku, saat menjalani satu episode titik nol dalam hidupku. Saat itu, aku mempunyai deadline menulis satu bulan untuk menyelesaikan satu buku. Hampir tiap hari aku harus menyalakan komputerku guna menuangkan pemikiranku dan segera menyelesaikan bukuku. Batas akhir pengumpulan naskah, laksana bom waktu bagi semua penulis. Karena deadline tersebutlah yang menenutukan tiap karya bisa masuk dalam seleksi/diterima atau pun tidak. Alhamdulillah, penerbit tempat ku berkarya mempunyai kebijakan bahwa deadline tersebut bukan batas akhir dari pengumpulan naskahku. Deadline itu lebih berkaitan dengan pemotongan honor menulis karena keterlambatan masuknya naskahku ke meja direksi. Bukan akhir memang tapi tetap harus diperjuangkan ketepatan waktu pengumpulan naskahku. Karena keluarga kecilku sangat bergantung dengan honor tersebut. Kami berharap dapat menerima honor tersebut secara penuh tanpa ada pemotongan. Apalah daya, manusia memang hanya bisa berusaha…pada saat aku bergulat dengan berbagai literatur untuk menyempurnakan naskahku, masalah- masalah itu pun muncul. Tetanggaku protes kepada kami tentang penggunaan listrik berlebihan, lantaran aku memakai komputerku sepanjang hari.

Listrik berdaya 900 watt itu memang harus dinikmati bersama oleh 5 kepala keluarga. Tak khayal, bila pada saat aku menyalakan komputerku dan ada beberapa tetangga secara bersama- sama juga menggunakan listrik dengan daya yang besar sepeti menyetrika, atau menggunakan rice cooker listrik akan otomatis jeglek (off secara otomatis karena kelebihan daya). Akhirnya, aku memutuskan, untuk mengerjakan naskahku pada saat malam hari…berharap hal tersebut bisa menjadi solusi bersama, karena aku tidak mungkin berhenti menulis…dan tidak menggunakan komputerku. Mungkin disinilah episode titik nol ku itu harus aku jalani. Tetanggaku tidak juga senang dengan hal tersebut. Berbagai ucapan menyakitkan, dan fitnah- fitnah dia lontarkan pada keluarga kami…terutama padaku. Sesak rasanya dada ini, dan pada saat itu aku hanya bisa menangis, berhenti…nothing to do! Aku mencoba untuk me-refresh kembali pikiranku dengan tidak berbuat apapun. Aku berhenti, saat aku benar- benartidak mau berhenti dan harus melaju mengejar waktu batas akhir pengumpulan naskah. Tapi aku harus berhenti! Meski aku tidak suka…mau atau tidak! Aku pun benar- benar “berhenti”…

Lalu bagaimana dengan naskahku? Bukankah keluargaku sangat membutuhkan uang honor tersebut? Apakah aku telah menyerah kalah?

Aku adalah seorang penulis dan aku tidak akan berhenti menulis!

Bila penaku yang kau rampas,maka aku akan menulis dengan ranting diatas pasir kehidupan…

Bila komputerku yang kau cela, aku akan mengetik dengan paku diatas lembaran- lembaran kayu…

Aku memang berhenti, berhenti sejenak dari rutinitasku untuk menulis, mencoba mendinginkan kepalaku yang hampir meledak mendapat perlakuan menyakitkan dari tetangga…tapi aku berhenti untuk kemudian memulai dengan hal yang baru…cara baru, ide baru.

Setelah beberapa hari aku berhenti, dan membiarkan keadaan berjalan sesuai dengan kemana kepentingan- kepentingan itu mengalir…aku mulai bergerak, bertindak! Aku putuskan untuk nge-kost di kost temanku elama satu bulan untuk bisa menyelesaikan naskahku disana. Alhamdulillah alaa kulli haal, aku mendapat satu kamar kosong dimana aku bisa menggunakannya selama satu bulan. Dua naskah itu pun benar- benar dapat ku selesaikan disana…tanpa beban berat ocehan tetangga, tanpa rasa was- was biaya listrik yang membengkak karena fitnah tetangga, tanpa tekanan psikis apa pun. Segala puji hanya bagi Alloh atas semua nikmat ini. Honor menulis aku dapatkan utuh tanpa potongan apapun, my belove husband pun bisa menyelesaikan kewajiban kami yang harus kami tunaikan tepat waktu.

Titik nol…awal untuk menuju titik-titik sleanjutnya, seberapa banyak pun titik yang hendak kau capai…kau tetap akan memulainya di titik nol

-Ian Puspita-

Diperbolehkan menyebarkan catatan ini kepada rekan- rekan yang lain dengan tetap mencantumkan nama penulis asli, Ian Puspita dan blog sumber http://dianpuspita.dagdigdug.com atau http://ianpuspita.blogspot.com

MOVE ON

Detik melaju begitu cepat...
Benih yang ditanam sudah berkecambah, tunas muda mulai dewasa. Pepohonan mulai menua dan yang tua pun mulai rapuh hingga saat itu tiba...Saat dimana pohon- pohon tua -move on- berpindah dari keangkuhan rindang pepohonan, menuju pembaringan halaman...melapuk, menjadi serbuk.

Seumpama pepohonan, metamorfosa manusia pun berjalan. Bayi dalam buaian sudah bisa berjalan, pejalan kaki mulai berlari, hingga sendi taklagi kompromi...masa tua pun telah menanti hingga saat itu tiba...Saat dimana sang pemegang kendali kehidupan memutuskan, ada yang harus pergi malam itu. Siapa yang dapat mengelak apalagi naik banding, keputusan tidak dapat diganggu gugaaattt!

Baiklah, palu sudah diketok! Dan yang pergi malam ini adalah sang pemimpin rumah ini...
Semalam Bapak telah pergi...Dia dipanggil sang pemilik kehidupan. Bapak tak lagi tinggal bersama kami, kini jasadnya harus pindah ke rumah barunya. Rumah sederhana di sudut pekuburan.

Kepergian Bapak sungguh berdampak pada kehidupan.
Kehidupan yang ditinggalkan...
5 anak lelakinya yang menjadi tumpuan harapan, bisakah diandalkan?

Sang putra pertama adalah seorang tentara. Padatnya tugas sebagai abdi negara membuatnya lupa akan bakti pada orang tua. Alih- alih tuntutan profesi, tiada sempat untuk sekedar menelephone memberi kabar keadaannya, apalagi datang untuk silaturahmi. Anak kedua berprofesi sebagai penjual sayur, dia kerap sekali menelephone dan mengirim uang ke rumah. Diantara empat anak Bapak yang lain, maka anak kedua inilah yang paling sukses dan kaya. Namun, kesuksesan yang diraihnya tidak serta merta membuat dia lupa akan kedua orang tuanya-mamak dan bapak- yang telah renta di desa. Anak ketiga bekerja di sebuah tempat pariwisata Nasional. Kehidupannya sederhana namun berkecukupan. Dia juga lumayan perhatian dengan kondisi Bapak, setidaknya satu pekan sekali dia menelephon dan menanyakan kondisi Bapak. Anak keempat bekerja menjual helm. Anak keempat ini mempunyai keahlian dalam permesinan, dia pernah beberapa kali bekerja di luar negeri seperti Mesir dan Korea. Karena saat ini tidak ada kontrak kerja, maka dia berwiraswasta berjualan helm untuk sementara. Namun kehidupannya lebih dari cukup. Anak kelima adalah seorang pedagang keliling, dia-lah suamiku. Suamiku-lah justru yang diandalkan ketika semua kakak tidak bisa menemani mamak, hidup di desa. Berbagai alasan diajukan tiap individu dengan ego masing- masing.

Kami memang yang berdomisili paling dekat diantara kakak- kakak yang lain. Karena keempat kakak suami berdomisili di Jawa Barat. Kami jugalah yang belum punya rumah sendiri alias masih menjadi kontraktor (ngontrak sana- sini). Alasan inilah yang menjadi senjata keempat kakak untuk mengamanati kami untuk menemani mamak di masa tuanya. Diluar semua alasan bertendensi keegoisan kakak-kakaknya, suamiku justru menjadikan hal ini sebagai kesempatan untuk berbakti kepada ibunya. Menemani mamak dan melayaninya dengan pelayanan yang baik adalah kesempatan emas baginya untuk meraih jannah (baca: syurga).

" Yang, terus ntar mamak yang nemenin siapa?" tanyaku pada suami.

"Yaaah, ana sih pengennya kita yang nemenin mamak. Ini kesempatan kita lho Yang, untuk mendapatkan syurga-Nya," jelas suamiku.

"Tapi Yang, terus usaha kita gimana? Kita kan baru aja mau memulai usaha parfum...," sanggahku padanya.

"Tenang aja, insya Allah akan ada rezky dari jalan lain," suamiku menenangkan.

"Iya sih, cuma gak tau nanti bakal gimana..," aku ragu.

"Tawakal aja ya, Yang!" suamiku meyakinkan.

Ya, memang harus selalu tawakal dalam setiap keadaan. Bagaimana tidak, sebagai hamba-Nya kita memang wajib berusaha tapi semua usaha kita tidak akan berbuah apapun tanpa disertai tawakal kepada-Nya. Justru dengan tawakal, usaha yang seyogyanya biasa malah jadi luar biasa kala hanya Allah-lah yang menjadi sandaran di setiap ikhtiar dan do'a.

Finally, ada aksi ada reaksi. Aksi dari move on nya Bapak dari kehidupan dunia ke kehidupan alam kubur membuat kami bereaksi untuk move on ke rumah suami, di desa.
-------------------------------------------------------------------------------------------------


Hari- hari pertama tinggal di desa serasa biasa saja, rutinitas di pagi hari masih sama dengan yang biasa kami lakukan tatkala menjenguk mamak tiap ahad pagi. Membuat nasi goreng untuk sarapan, menanak nasi dan memasak sayuran untuk makan siang. Kala siang menjelang, seperti biasa suamiku membantu mamak di ladang. Sementara aku...asyik berkutat dengan laptop ku membuka situs jejaring sosial. Hmm, akses internet untuk bisa membuka facebook terasa begitu berarti buatku! Bagaimana tidak, selama di rumah suami aku tidak bisa kemana- mana. Hanya berada di dalam rumah tua yang besaaarrr tanpa teman, sungguh membosankan. Maka tatkala rasa bosan dan sepi menyergap, internetlah yang jadi penghibur rasa sepi. Facebook adalah akses pertama yang ku buka. Kalau sudah begitu, internetan seharian pun bisa kejadian!

Aku sendiri sedari kecil terbiasa hidup di hiruk pikuk kota, setelah menikah pun kami memilih mencari tempat tinggal di kota. Selain akses yang mudah ke berbagai fasilitas umum, kota juga menjanjikan banyak peluang usaha. Pindah dari keramaian kota pada kesederhanaan desa butuh waktu untukku dan suamiku. Meski suamiku dibesarkan di desa, namun karena sudah terbiasa dengan aktivitasnya di kota ternyata membuat dia juga kadang terserang penyakit Be alias bosan. Alhamdulillah, move on kami tidak totally moved. Karena suamiku masih mempunyai tanggungan usaha di kota dan jatah jam mengajar di sebuah instansi, jadi hampir tiap hari kami bolak- balik desa ke kota. Capek banget tentu, tapi senang. Perjalanan jauh Solo- Wonogiri yang ditempuh selama dua jam menjadi happy travelling buat kami. Yep! perjalanan roda dua tersebut adalah refreshing gratis buat kami.

Aku tidak pernah melewatkan kesempatan untuk turut serta ketika suamiku mempunyai rencana ke Solo. Walaupun sebenarnya ketika di kontrakan kegiatanku tak jauhberbeda dengan di rumah mertua, tapi bedalah rasanya. Tidak ada tempat senyaman rumah sendiri! (walau masih ngontrak). Di rumah sendiri (rumah tinggal kita dan keluarga kecil kita), kita bebas mengatur waktu kita beraktivitas dan bagaimana kita beraktivitas. Hal ini berbeda keadaan ketika aku berada di rumah mertuaku. Hufft, semua hal harus menggunakan standarisasi mertua. Kapan dan bagaimana beraktivitas harus sesuai pakemnya (baca: aturannya). Siapa yang betah kalau begitu caranya ya? Aku sempat berpikir, mungkin ini juga yang jadi alasan para wanita lebih suka mempunyai rumah sendiri (baca: tempat tinggal terpisah dengan orang tua) dengan suami. Ketidaksukaan untuk dicampuri urusan dalam negeri rumah tangga adalah hal utama. namun keadaan sedang berkata lain, mau tidak mau proses move on itu tetap berlangsung.

Satu hal yang harus selalu dilakukan disini adalah tiada henti berkreasi. Berkreasi untuk menyenangkan diri sendiri selama disini. Aku yakin, facebook mungkin saat ini bisa menjadi obat bosan mujarab tapi pada masanya facebook juga bisa jadi rasa bosan stadium dua berikutnya. Happy travelling pun suatu hari nanti akan menjadi pilihan ke sekian tatkala tubuh tak lagi mampu menahan lelah.

Badan kami memang sudah move-on dari kota ke desa, tapi jiwa dan pikiran kami belum mampu untuk move-on. Padahal sejatinya, apabila pemikiran kita sudah bisa out of the box...kebiasaan dan pola kerja kita pun otomatis berubah. Transisi itu menjadi lebih mudah. Move-on serasa indah!

So, move-on menurutku tidak hanya pada berpindahnya jasmani/badaniah kita dari satu tempat ke tempat lain. Namun, lebih berdayaguna bila move-on ini mematamorfosiskan pemikiran klasik kita pada pandangan imaginer yang lebih terbuka. Optimis dan kreatif. Tentu saja pemikiran tersebut dengan tidak melanggar norma dan syari'at yang ada.


Bagi yang akan, sedang, dan telah move-on dari satu pijakan ke pijakan yang lain...semoga betah dengan lingkungan yang baru tersebut. Bagi yang akan, sedang, dan telah move-on dari keapriorian diri menjadi apapun yang dirasa baik, cangratulation....you have taken action!

Diperbolehkan menyebarkan catatan ini kepada rekan- rekan yang lain dengan tetap mencantumkan nama penulis asli, Ian Puspita dan blog sumber http://ianpuspita.blogspot.com

Wednesday, March 2, 2011

Aku dan Tulisanku

Salah satu judul puisiku dalam antology puisi yang insya allah akan publish adalah “Aku dan Tulisanku”. Puisi ini mewakili jeritan hatiku sebagai penulis dan juga lukisan abstraksi bagi penulis lain pada umumnya. Seorang penulis dengan tulisannya (baca:karyanya) sungguh tak terpisahkan. Tulisan itu bisa jadi merupakan bias jiwa, percikan rasa, dan lengkingan hati. Disanalah jiwa seorang penulis terasa getarannya.

Manusia akan mati, jemari berhenti menari, jiwa akan pergi tapi sebuah tulisan akan lekat di hati. Dia akan tetap ada meski sang penulis telah tiada. Dia akan bersuara, kala sang penulis sudah tak mampu bersuara. Dia akan menjerit, meski sang penulis kini berada di liang kubur nan sempit.

Bila harimau mati meninggalkan belang...

Maka seorang penulis bila dia mati, dia akan meninggalkan tulisannya (baca:karyanya)

Aku adalah Penulis

dan aku tidak akan berhenti menulis....(insya Allah)

-Ian Puspita-

Diperbolehkan menyebarkan catatan ini kepada rekan- rekan yang lain dengan tetap mencantumkan nama penulis asli, Ian Puspita dari blog sumber http://dianpuspita.dagdigdug.com atau http://ianpuspita.blogspot.com

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More