Sunday, March 13, 2011

MOVE ON

Detik melaju begitu cepat...

Benih yang ditanam sudah berkecambah, tunas muda mulai dewasa. Pepohonan mulai menua dan yang tua pun mulai rapuh hingga saat itu tiba...Saat dimana pohon- pohon tua -move on- berpindah dari keangkuhan rindang pepohonan, menuju pembaringan halaman...melapuk, menjadi serbuk.

Seumpama pepohonan, metamorfosa manusia pun berjalan. Bayi dalam buaian sudah bisa berjalan, pejalan kaki mulai berlari, hingga sendi taklagi kompromi...masa tua pun telah menanti hingga saat itu tiba...Saat dimana sang pemegang kendali kehidupan memutuskan, ada yang harus pergi malam itu. Siapa yang dapat mengelak apalagi naik banding, keputusan tidak dapat diganggu gugaaattt!

Baiklah, palu sudah diketok! Dan yang pergi malam ini adalah sang pemimpin rumah ini...
Semalam Bapak telah pergi...Dia dipanggil sang pemilik kehidupan. Bapak tak lagi tinggal bersama kami, kini jasadnya harus pindah ke rumah barunya. Rumah sederhana di sudut pekuburan.

Kepergian Bapak sungguh berdampak pada kehidupan.
Kehidupan yang ditinggalkan...
5 anak lelakinya yang menjadi tumpuan harapan, bisakah diandalkan?

Sang putra pertama adalah seorang tentara. Padatnya tugas sebagai abdi negara membuatnya lupa akan bakti pada orang tua. Alih- alih tuntutan profesi, tiada sempat untuk sekedar menelephone memberi kabar keadaannya, apalagi datang untuk silaturahmi. Anak kedua berprofesi sebagai penjual sayur, dia kerap sekali menelephone dan mengirim uang ke rumah. Diantara empat anak Bapak yang lain, maka anak kedua inilah yang paling sukses dan kaya. Namun, kesuksesan yang diraihnya tidak serta merta membuat dia lupa akan kedua orang tuanya-mamak dan bapak- yang telah renta di desa. Anak ketiga bekerja di sebuah tempat pariwisata Nasional. Kehidupannya sederhana namun berkecukupan. Dia juga lumayan perhatian dengan kondisi Bapak, setidaknya satu pekan sekali dia menelephon dan menanyakan kondisi Bapak. Anak keempat bekerja menjual helm. Anak keempat ini mempunyai keahlian dalam permesinan, dia pernah beberapa kali bekerja di luar negeri seperti Mesir dan Korea. Karena saat ini tidak ada kontrak kerja, maka dia berwiraswasta berjualan helm untuk sementara. Namun kehidupannya lebih dari cukup. Anak kelima adalah seorang pedagang keliling, dia-lah suamiku. Suamiku-lah justru yang diandalkan ketika semua kakak tidak bisa menemani mamak, hidup di desa. Berbagai alasan diajukan tiap individu dengan ego masing- masing.

Kami memang yang berdomisili paling dekat diantara kakak- kakak yang lain. Karena keempat kakak suami berdomisili di Jawa Barat. Kami jugalah yang belum punya rumah sendiri alias masih menjadi kontraktor (ngontrak sana- sini). Alasan inilah yang menjadi senjata keempat kakak untuk mengamanati kami untuk menemani mamak di masa tuanya. Diluar semua alasan bertendensi keegoisan kakak-kakaknya, suamiku justru menjadikan hal ini sebagai kesempatan untuk berbakti kepada ibunya. Menemani mamak dan melayaninya dengan pelayanan yang baik adalah kesempatan emas baginya untuk meraih jannah (baca: syurga).

" Yang, terus ntar mamak yang nemenin siapa?" tanyaku pada suami.

"Yaaah, ana sih pengennya kita yang nemenin mamak. Ini kesempatan kita lho Yang, untuk mendapatkan syurga-Nya," jelas suamiku.

"Tapi Yang, terus usaha kita gimana? Kita kan baru aja mau memulai usaha parfum...," sanggahku padanya.

"Tenang aja, insya Allah akan ada rezky dari jalan lain," suamiku menenangkan.

"Iya sih, cuma gak tau nanti bakal gimana..," aku ragu.

"Tawakal aja ya, Yang!" suamiku meyakinkan.

Ya, memang harus selalu tawakal dalam setiap keadaan. Bagaimana tidak, sebagai hamba-Nya kita memang wajib berusaha tapi semua usaha kita tidak akan berbuah apapun tanpa disertai tawakal kepada-Nya. Justru dengan tawakal, usaha yang seyogyanya biasa malah jadi luar biasa kala hanya Allah-lah yang menjadi sandaran di setiap ikhtiar dan do'a.

Finally, ada aksi ada reaksi. Aksi dari move on nya Bapak dari kehidupan dunia ke kehidupan alam kubur membuat kami bereaksi untuk move on ke rumah suami, di desa.
-------------------------------------------------------------------------------------------------


Hari- hari pertama tinggal di desa serasa biasa saja, rutinitas di pagi hari masih sama dengan yang biasa kami lakukan tatkala menjenguk mamak tiap ahad pagi. Membuat nasi goreng untuk sarapan, menanak nasi dan memasak sayuran untuk makan siang. Kala siang menjelang, seperti biasa suamiku membantu mamak di ladang. Sementara aku...asyik berkutat dengan laptop ku membuka situs jejaring sosial. Hmm, akses internet untuk bisa membuka facebook terasa begitu berarti buatku! Bagaimana tidak, selama di rumah suami aku tidak bisa kemana- mana. Hanya berada di dalam rumah tua yang besaaarrr tanpa teman, sungguh membosankan. Maka tatkala rasa bosan dan sepi menyergap, internetlah yang jadi penghibur rasa sepi. Facebook adalah akses pertama yang ku buka. Kalau sudah begitu, internetan seharian pun bisa kejadian!

Aku sendiri sedari kecil terbiasa hidup di hiruk pikuk kota, setelah menikah pun kami memilih mencari tempat tinggal di kota. Selain akses yang mudah ke berbagai fasilitas umum, kota juga menjanjikan banyak peluang usaha. Pindah dari keramaian kota pada kesederhanaan desa butuh waktu untukku dan suamiku. Meski suamiku dibesarkan di desa, namun karena sudah terbiasa dengan aktivitasnya di kota ternyata membuat dia juga kadang terserang penyakit Be alias bosan. Alhamdulillah, move on kami tidak totally moved. Karena suamiku masih mempunyai tanggungan usaha di kota dan jatah jam mengajar di sebuah instansi, jadi hampir tiap hari kami bolak- balik desa ke kota. Capek banget tentu, tapi senang. Perjalanan jauh Solo- Wonogiri yang ditempuh selama dua jam menjadi happy travelling buat kami. Yep! perjalanan roda dua tersebut adalah refreshing gratis buat kami.

Aku tidak pernah melewatkan kesempatan untuk turut serta ketika suamiku mempunyai rencana ke Solo. Walaupun sebenarnya ketika di kontrakan kegiatanku tak jauhberbeda dengan di rumah mertua, tapi bedalah rasanya. Tidak ada tempat senyaman rumah sendiri! (walau masih ngontrak). Di rumah sendiri (rumah tinggal kita dan keluarga kecil kita), kita bebas mengatur waktu kita beraktivitas dan bagaimana kita beraktivitas. Hal ini berbeda keadaan ketika aku berada di rumah mertuaku. Hufft, semua hal harus menggunakan standarisasi mertua. Kapan dan bagaimana beraktivitas harus sesuai pakemnya (baca: aturannya). Siapa yang betah kalau begitu caranya ya? Aku sempat berpikir, mungkin ini juga yang jadi alasan para wanita lebih suka mempunyai rumah sendiri (baca: tempat tinggal terpisah dengan orang tua) dengan suami. Ketidaksukaan untuk dicampuri urusan dalam negeri rumah tangga adalah hal utama. namun keadaan sedang berkata lain, mau tidak mau proses move on itu tetap berlangsung.

Satu hal yang harus selalu dilakukan disini adalah tiada henti berkreasi. Berkreasi untuk menyenangkan diri sendiri selama disini. Aku yakin, facebook mungkin saat ini bisa menjadi obat bosan mujarab tapi pada masanya facebook juga bisa jadi rasa bosan stadium dua berikutnya. Happy travelling pun suatu hari nanti akan menjadi pilihan ke sekian tatkala tubuh tak lagi mampu menahan lelah.

Badan kami memang sudah move-on dari kota ke desa, tapi jiwa dan pikiran kami belum mampu untuk move-on. Padahal sejatinya, apabila pemikiran kita sudah bisa out of the box...kebiasaan dan pola kerja kita pun otomatis berubah. Transisi itu menjadi lebih mudah. Move-on serasa indah!

So, move-on menurutku tidak hanya pada berpindahnya jasmani/badaniah kita dari satu tempat ke tempat lain. Namun, lebih berdayaguna bila move-on ini mematamorfosiskan pemikiran klasik kita pada pandangan imaginer yang lebih terbuka. Optimis dan kreatif. Tentu saja pemikiran tersebut dengan tidak melanggar norma dan syari'at yang ada.


Bagi yang akan, sedang, dan telah move-on dari satu pijakan ke pijakan yang lain...semoga betah dengan lingkungan yang baru tersebut. Bagi yang akan, sedang, dan telah move-on dari keapriorian diri menjadi apapun yang dirasa baik, cangratulation....you have taken action!

Diperbolehkan menyebarkan catatan ini kepada rekan- rekan yang lain dengan tetap mencantumkan nama penulis asli, Ian Puspita dan blog sumber http://ianpuspita.blogspot.com

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More